A MUST READ BLOG PAGE | Pepayanisasi: Siapapun Bisa Melakukannya

Tiga utusan petani pelopor desa Pogog ketika studi banding di Boyolali

Program pepayanisasi di desa Pogog adalah suatu program lanjutan dari KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang pernah saya lakukan pada tahun 1993 bersama  sebuah tim dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Bedanya, kali ini KKN saya kerjakan seorang diri. Segala bentuk kegiatan yang berhubungan dengan program pepayanisasi ini, ide atau gagasan, studi pustaka, mendatangkan konsultan dan praktisi, pendekatan kepada warga desa agar bersedia mengikuti program ini, diskusi dan rembug desa, penanaman, pemantauan, penyuluhan, pemasaran dan semua jenis pembiayaan  saya tanggung sendiri.

Program pepayanisasi ini adalah program terbaru untuk desa Pogog dan sudah di mulai  sejak Januari  2008. Setelah melalui serangkaian urutan waktu, pembahasan dan studi aplikasi ke lapangan maka pada tanggal 12 dan 18 Oktober 2008 dimulailah penanaman bibit ke lahan warga di desa Pogog. Jadi kita butuh waktu 9 bulan untuk mewujudkannya dari bentuk ide ke aplikasi ke lapangan.

Keberhasilan program pepayanisasi ini akan terlihat pada bulan Juli 2009 nanti. Taksiran hasil petani pepaya per 5 hari (sepasar, dalam penanggalan Jawa) adalah 3 s/d 4 tons. Perlu diketahui bahwa bibit yang saya serahkan kepada warga desa Pogog sampai 18 Oktober 2008 mencapai angka 4.000 batang bibit.

Ada sesuatu yang unik dibalik latar belakang dan sejarah program program pepayanisasi ini.

Pada bulan-bulan menjelang akhir tahun 2007, saya menjadi agak sering ke desa Pogog untuk keperluan pendataan masjid dan legalisasi oleh aparat desa dalam rangka pembuatan proposal permintaan bantuan hewan Qurban untuk warga desa di sini, desa Pogog, di mana program Qurban ke desa ini sudah berjalan sejak tahun 2004.

Pada tahun 2007, perayaan hari Raya Idul Adha dan perayaan Natal dan Tahun  Baru jatuh pada bulan yang sama yaitu bulan Desembar tentunya, bahkan jatuh pada hari yang saling berdekatan. Bagi mas Rimo, satu-satunya takmir masjid Nurul Islam yang ada di desa Pogog, liburan Natal dan Tahun Baru adalah saat yang tepat untuk mencari tambahan pemasukan keuangan dengan berjualan terompet tahun baru ke kota-kota besar di Jawa dan Bali.

Perlu diketahui bahwa hampir 80% penjual terompet tahun baru juga penjual mainan anak keliling di kota-kota besar di Jawa dan Bali berasal dari daerah Wonogiri, khususnya  kecamatan Bulukerto dan Puhpelem. Kedua kecamatan itu memang sentranya pembuatan mainan anak dan pedagang atau penjualnya.

Kembali kepada cerita mas Rimo dan terompet tahun barunya.

Tetapi di akhir tahun 2007 itu, mas Rimo tidak dapat mengikuti jejak teman-temannya yang saat itu berangkat ke Bali dengan men-charter sebuah truck besar untuk mengangkut terompet-terompet yang sedianya  akan di jual di Bali sekaligus sebagai alat transportasi yang akan mengantarkan mereka ke seberang pulau itu. Mas Rimo harus tetap tinggal di desa bersama warga untuk menyambut perayaan hari raya Idul Adha: malam takbiran, menjadi imam dan khotib di hari sholat id dan memimpin dan mengatur pembagian hewan Qurban. Ada semangat spiritual yang menjadikan mas  Rimo tetap tinggal di desa, padahal jualan terompet adalah salah satu kesempatan emas bagi mas  Rimo untuk memperoleh uang sampingan. Mas Rimo hanyalah seorang buruh tani di desa itu, memang dia memiliki lahan tetapi hanya bisa  ditanami singkong, jagung atau kacang dan hasil dari komoditas ini boleh dibilang masih sangat kurang.

Dari percakapan di bulan Desember itu juga terungkap fakta  bahwa terkadang di masjid Nurul Islam tempat mas Rimo menjadi takmir, terkadang tidak mengadakan sholat Jum’at suatu sholat yang wajib dilaksanakan  seluruh warga yang dikarenakan mas Rimo tidak pulang ke desa itu. Posisi mas Rimo yang sebagai buruh tani yang terkadang sebagai tukang rontok padi milik orang lain atau sebagai tukang tebang tebu untuk wilayah Ponorogo dan sekitarnya menjadikannya tidak memiliki ruang gerak yang luwes untuk tetap memakmurkan masjidnya. “Jadi setiap hari Jum’at saya harus  pulang ke desa untuk mengadakan sholat Jum’at bersama warga. Kalau saya tidak pulang berarti tidak ada sholat Jum’at di desaku, kasihan mereka..” kata mas Rimo. “Padahal saya di Ponorogo hanya sebagai buruh untuk mencukupi kebutuhan keluarga, kalau dapat bon-bonan pasti saya pulang kalau tidak dapat uang, saya pulang pakai apa?” lanjut mas Rimo.

Jarak dari desa Pogog ke Ponorogo kurang  lebih 50 s/d 60 km, ke desa Pogog hanya bisa ditempuh naik kendaraan umum dari Ponorogo (armada bus ada tetapi tidak banyak dan harus menunggu) diteruskan naik minibus mobil penumpang umum kecil (cuma sedikit armada dan harus menunggu lebih jauh awal kalau tidak mau ketinggalan trayek dan harus menunggu dalam waktu yang lama sekali untuk keberangkatan trayek berikutnya). Sesampai kecamatan Bulukerto selanjutnya naik ojek dengar bayaran Rp.5.000 s/d Rp.10.000. Atau kalau jalan kaki dari kecamatan ke desa Pogog butuh waktu minimal 30 menit untuk orang dewasa yang berjalan tegap….. dan sudah sarapan!

Routenya jalan trasah batu yang di mata saya nampak seperti jalan ampyang (makanan tradisional yang terbuat dari gula dari gula dan kacang).

Saya tertegun sesaat setelah mengetahui fakta yang sesungguhnya.

“Mas Rimo, kamu harus bangga dengan kondisimu sekarang ini. Bangga karena kamu telah ‘dipilih’ menjadi takmir masjid ini. Banggalah menjadi takmir masjid karena Alloh-lah yang  secara langsung memilih dan menjadikan kamu takmir masjid  ini, bukan siapa-siapa atau  manusia manapun” kataku kepadanya saat itu.

“Kamu bukan pemimpin partai atau anggota dewan di mana kamu butuh bantuan manusia lain untuk mendududki posisi itu, coba diingat-ingat, siapa yang menyuruh atau memilihmu menjadi takmir, tak seorangpun khan?” lanjutku lagi.

Untuk sementara dia puas terhadap jawabanku ini yang saya sendiri masih kurang yakin dengan  dasar dan sumbernya.

“Kamu seharusnya juga bangga dengan kondisi desa Pogog di saat ini,  di mana keislaman masih dalam taraf awal berkembang. Hal ini berarti kamu ikut merasakan apa yang Nabi Muhammad SAW rasakan dalam masa-masa awal perkembangan Islam. Tidak semua orang ikut merasakannya lho..!” lanjutku lagi dan lagi.

Akhirnya,  sejak pembicaraan itu, saya dan mas Rimo menjadi semakin akrab dan mas Rimo jarang mengungkap atau ‘mengeluhkan’ sesuatu yang sangat manusiawi itu juga segala kekurangan di masjidnya yang ada hanya optimisme dan harapan-harapan.

Setelah pengumpulan  data dan pemotretan masjid di desa itu selesai, hal ini untuk pembuatan proposal bantuan hewan Qurban, saya  pulang ke Solo. Proposal selanjutnya akan saya bagikan kepada keluarga, rekan atau relasi terdekat saja. Kepada keluarga sendiripun proposal  tetap saya berikan kepada mereka karena  proposal itu bukan dari saya pribadi tetapi proposal itu datang dari warga desa Pogog.

Sesampai di rumah, saya masih teringat-ingat dengan kondisi mas Rimo, warga desa, masjidnya, terompetnya dan lain sebagainya sampai berhari-hari.

“Seandainya mas Rimo bisa memperoleh pendapatan untuk mencukupi keperluan sehari-hari tanpa perlu menjadi buruh tani atau tebang tebu keluar dari desanya” pikirku.

Tahun baru 2008 telah terlewati.

Bulan Januari 2008, saya  bersama anak, istri dan mertua jalan-jalan di daerah Mojosongo, Boyolali; Jawa Tengah, daerah ini terkenal sebagai daerah penghasil pepaya buah,  pepaya Thailand.

“Bagaimana kalau mas Rimo saya suruh menanam pepaya seperti yang ada di  Boyolali ini, ini bagus buat masukan keuangan hariannya?” pikirku.

Saya mencari tahu lebih banyak tentang budidaya pepaya Thailand ini langsung ke sejumlah petani di Boyolali. Beberapa hari kemudian saya juga telah menemukan seorang instruktur sekaligus praktisi pepaya Thailand yang setuju untuk membantu saya untuk memberikan pelatihan singkat kepada mas Rimo yang akan saya datangkan ke Boyolali pada bulan berikutnya. Nama instruktur itu pak Muslim, alamatnya di Mojosongo, Boyolali.

Di sisi lain sudah aku siapkan 200 batang bibit pepaya Thailand yang aku beli dari petani pembibit di Boyolali untuk dibawa pulang mas Rimo nanti.

Bulan Februari 2008 . Mas Rimo datang ke rumahku, di desa Gawok, kecamatan Gatak, kabupaten Sukoharjo. Pada hari itu kita janjian akan menemui pak Muslim di Boyolali yang selanjutnya mas Rimo akan berguru tentang budidaya pepaya buah jenis unggul kepadanya. Acara berguru seleasi. Oleh pak Muslim, kita diberi masukan bahwa menanam 200 batang bibit itu justru pemasarannya nanti yang susah. Karena mas Rimo harus memasarkan sendiri ke pasar-pasar yang belum mengenal pepaya Thailand ini sendirian, ini justru mengundang kesulitan dalam pemasaran. Ini berarti mas Rimo harus mulai dari angka nol. Alangkah baiknya kalau mas Jiwo (mas Jiwo adalah nama panggilan orang Pogog kepadaku, termasuk mas Rimo tentunya) bersedia memberikan sejumlah minimal 1.000 batang bibit kepada mas Rimo. Sebab dengan 1.000 batang bibit pepaya akan menghasilkan 0,5 s/d 1 ton per 5 hari maksimal atau sepasar hal ini akan menjadi mudah dalam pemasarannya karena cukup dipanggilakan pengepul pepaya dari Boyolali saja pepaya sudah terjual. Saat ini pengepul pepaya  di Boyolali masih kekurangan pasokan. Tidak mungkin pengepul pepaya jauh-jauh dari Boyolali mau datang ke lereng Lawu yang menempuh jarak 105 km sekali jalan hanya untuk hasil dari 200 pohon saja.

Sangat masuk akal saran dari pak Muslim. Kita pulang, mas Rimo kembali ke desa Pogog.

Pertanyaanya sekarang: kalau menanam 1.000 batang bibit sementara lahan mas Rimo hanya mampu menampung 200 batang bibit, terus sisanya yang 800 siapa yang mau menanam? Tidak mudah mengarahkan petani di desa Pogog untuk mengalihkan komoditas tanaman mereka dari singkong,  kacang dan  jagung ke komoditas baru yang belum tentu akan membawa ke kemajuan. Bagi mereka jenis pepaya apapun itu ya tetap pepaya dan untuk pepaya mereka sudah memilikinya di kebun mereka masing-masing. Tidak mungkin pepaya bisa mengalahkan komoditas mereka selama ini mereka tanam yang telah terpercaya sebagai penopang ekonomi mereka sejak nenek moyang mereka datang pertama kali menempati lereng-lereng gunung Lawu  atau bahkan sejak gunung Lawu masih mengeluarkan api. Saya berpikir ini akan bakal sulit dan perlu waktu…!

Apa keunggulan pepaya Thailand ini?. Hasil tanaman buah yang daya simpannya pendek cuma  5 hari apa tidak bikin tambah bangkrut? Apalagi kalau semua  warga desa menanam pepaya terus siapa yang beli, pepayanya banyak sekali? Kenapa mas Jiwo baikan dengan warga desa dengan memberikan  1.000 batang bibit pepaya secara cuma-cuma, apa mau jadi caleg dari partai tertentu? Apa untungnya mas Jiwo kalau bibit pepaya yang diserahkan kepada  petani dan hasilnya kelak sepenuhnya dinikmati petani itu sendiri? dan pertanyaan lainnya…!

Pertanyaan-pertanyaan di atas itu muncul dalam rembug desa dengan kelomok tani pada bulan April 2008 di rumah mas Rimo yang dihadiri bapak Kepala  Desa  pak Sakat Purwadi dan pak Kadus pak Winarno beserta 40 ‘calon petani pepaya’. Untungnya pada pertemuan itu saya mendatangkan pak  Muslim dari Boyolali untuk memberikan pengarahan tentang manfaat yang bisa diperoleh dari penanaman pepaya Thailand,  kenapa minimal 1.000 batang pohon, tentang pemasaran dan masa depan budidaya pepaya itu sendiri. Tak lupa pak Muslim membawa oleh-oleh berupa contoh pepaya  Thailand yang bisa disaksikan oleh para calon petani.

Dalam pertemuan itu juga  saya jelaskan maksud  dan tujuan dari ‘program pepayanisasi’ ini, bahwasanya program ini bersifat umum, tidak mengikat, terbuka  dan non-partisan. Hal ini saya lakukan semata-mata karena saya ingin membantu mas Rimo, khususnya, agar tetap tinggal di desa dan memakmurkan masjidnya. Kalaupun sekarang melebar kepada semua warga desa pada umumnya, itulah yang disebut karunia dari Alloh. Kalau program ini sukses  dan membawa kemajuan dalam perekonomian bagi warga desa, itu sudah cukup alasan bagi saya untuk berbangga hati. Di samping itu, kalau program ini sukses, saya ingin, hal ini akan dilihat anak-anak saya nanti selanjutnya sebagai contoh dalam berkarya ke depan, jadi saya  tidak perlu banyak omong kepada anak-anak saya.

Pertemuan usai, kita pulang. Pak Muslim diantar naik motor ke Purwantoro untuk mencari bis yang ke Solo, sedang saya naik motor. Dalam perjalanan pulang ke Solo, saya mendapat SMS dari mas Rimo yang saat itu langsung saya tunjuk sebagai ketua kelompok tani pepaya yang isinya : “PETANI MEMBUTUHKAN 1.600 BATANG BIBIT, BANYAK YANG IKUT”, ini berarti melebihi keasnggupan awal yang saya setujui sebanyak 1.000 batang bibit. Saya juga tidak ingin mengecewakan antusias warga, akhirnya  saya setujui menjadi 2.000 batang bibit dengan perincian 1.800 bibit untuk warga ditambah 10% atau sebanyak 200 untuk sulaman bibit yang mati.

Bulan Mei 2008, saya datang ke lokasi untuk melihat persiapan warga. Saya  lihat mereka sudah mulai membersihkan lahan, menyaipkan tanah  dan lubang galian utnuk ditaburi pupuk kandang. Ada gairah baru untuk menyambut kehadiran bibit-bibit pepaya di hari itu. Saya senang program ini berjalan mulus sesuai rencana. Hal ini juga tidak lepas dari kepercayaan mereka  terhadap diri saya yang sudah 15 tahun bergaul dengan warga desa  dan menjadi intensif sejak 5 tahun sebelum program pepayanisasi bergulir.

Pertengahan bulan puasa 1429 H, tepatnya 19 September 2008,  saya kedatangan 3 utusan petani dari desa Pogog yang memang saya undang untuk datang ke Solo yang selanjutnya akan saya antar ke Mojosongo, Boyolali untuk saya pertemukan langsung dengan petani dan pengepul pepaya. Ketiga utusan kelompok tani itu adalah : pak Supri (buruh tani dan tebang tebu), pak Yatno (penjual mainan keliling) dan mbah Yono (petani ladang).

Hal ini dimaksudkan agar mereka mengetahui langsung tentang manfaat dan peluang langsung dari orang yang berkompeten bukan dari mulutku.

Singkatnya, ke-3 utusan tadi terkesan dengan penuturan 2 orang pengepul pepeya yang masih membutuhkan tambahan pasokan pepaya dalam jumlah besar sebab pasokan yang ada selama ini belum tercukupi. Pengepul pertama bernama Mul, warga Mojosongo, yang mengatakan setiap harinya dia butuh 5 ton per hari dan saat ini jumlah tersebut jauh  belum tercukupi. Kita datang ke pengepul yang kedua bernama ibu War, yang membutuhkan 15 ton per hari juga belum tercukupi suplai dari petani.

Mendengar sendiri dari penuturan pengepul akan permintaan  yang besar terhadap suplai pepaya Thailand, ke-3 utusan tadi pulang ke Pogog dengan tidak hanya dengan segenggam tetapi ber-genggam-genggam harapan atas program pepayanisasi ini.

Malamnya ke 3 utusan petani berkumpul di rumahnya mas  Rimo untuk menjelaskan hasil studi lapangan ke tiga “siswa pepaya” itu. Hasilnya memuaskan dan… hal ini  mengakibatkan adanya lonjakan penambahan jumlah bibit yang diperlukan. Malam itu mas Rimo kirim SMS yang isinya: “BANYAK YANG IKUT, SETELAH SAYA HITUNG PERLU 2.600 BIBIT”. Di SMS lainnya mas Rimo juga  mengatakan kalau dia kesulitan untuk membagi jumlah bibit yang ada dengan jumlah petani yang antusias.

Tanggal 12 Oktober 2008 , penyerahan 2.000 batang bibit pertama dari total 4.000 bibit. Acara penyerahan ini menjadi acara yang tidak mungkin saya lupakan seumur hidup saya. Atas inisiatif warga desa sendiri mereka manyambutnya dengan berpakaian batik rapi (sementara kita  pakai pakaian kasual dan bercelana pendek) dan… ada hiburan sambutan ‘lokal band’ berupa musik hadrah   dengan 3 penyanyi. Kita serombongan jadi terharu dan acaranya menjadi formal. Begitu juga kita dibikinkan dekorasi   panggung berupa selembar kain merah dengan bertuliskan : PENYERAHAN PEPAYA OLEH MAS JIWO. “Terima kasih” aku ucapkan  atas inisiatif dan kejutan sambutan yang tak terlupakan ini. Acara ini dihadiri 120 orang dari hanya 40-50 undangan yang diedarkan. Warga desa semakin banyak tertarik untuk mengadu nasib melawan tradisi singkong dan jagung dan menjadikan kebutuhan bibit bertambah lagi.

Disamping untuk memberikan kesempatan untuk ikut serta bagi  calon petani pepaya yang baru bergabung juga karena saya dengan sangat jelas melihat peluang agrobisnis yang sepenuhnya untuk warga desa Pogog ini memiliki masa depan yang bukan saja cerah tetapi sangat cerah. Hal ini bisa dilihat dari proses awal, pembibitan, kesiapan lahan, kesedian petani untuk beralih komoditas, penanaman sampai dengan pemasaran yang sangat masih terbuka jadi tidak ada salahnya kalau saya menaikkan kesanggupan untuk mengadakan bibit menjadi 4.000 batang bibit termasuk 10% sulamannya.

Tanggal 18 Oktober 2008 , kembali kita kirimkan 2.000 batang bibit untuk menggenapi kiriman minggu kemarin. Dalam pengiriman ke-2 ini  pak Muslim saya sertakan  untuk bisa langsung memantau penanaman di lapangan dan kembali memberikan penyuluhan bagi calon petani tambahn yang tidak hadir pada pertemuan bulan April lalu.

Ini menjadi program gila-gilaan..! 

Yang semula saya hanya akan mengadakan bibit buat seorang saja sekarang ini (sampai Oktober 2008) menjadi lebih luas yaitu sebanyak 51 orang petani.

Hasil yang diproyeksikan hari 4.000 batang pohon pepaya per 3 s/d 5 hari kerja adalah akan menghasilkan 3 s/d 4 ton. Ini berarti akan menghasilkan 18 s/d 24 ton sebulan.

Angka yang sangat besar.

Kalau harga pepaya di tingkat petani sekarang antara Rp.1.500 s/d 3.500 per kilo gram-nya maka uang yang berputar di desa Pogog antara Rp. 27.000.000 s/d Rp.36.000.000 per bulan….!

Angka 27 juta s/d 36 juta per bulan kalau dibagi dengan jumlah petani yang 51 orang ini berarti setiap petani akan mendapatkan pemasukan keuangan antara Rp.529.000 s/d Rp.705.000 bruto per petani per bulan. 

Sekali lagi angka yang sangat besar….!

Benar atau tidaknya proyeksi ini, berhasil atau tidaknya program pepayanisasi ini akan bisa  dibuktikan pada bulan Juli 2009.

Kalau program ini berhasil maka akan saya lanjutan dengan pengiriman 2.000 batang bibit pertahunnya pada tahun 2009 dan 2010. Dan pada tahun 2010 pohon pepaya angkatan I telah mencapai usia 3 tahun maka selanjutnya pembibitan bisa dilakukan oleh petani Pogog sendiri karena usia batang pepaya usia minimal 3  tahun adalah syarat utama untuk memperoleh bibit pepaya yang baik.

Dalam hubungannya dengan program Qurban ke desa Pogog yang sudah berlangsung sejak 4 tahun lalu: kalau program ini sukses, suatu saat desa Pogog bukan lagi daerah yang tepat untuk  sasaran penerima hewan Qurban. Tetapi sebaliknya, desa ini akan semakin mendiri dalam perekonomian mereka dan justru akan mengirimkan hewan Qurban keluar dari desa Pogog ke daerah lain. Semoga…! 

Dan,  mas Rimo akan tetap tinggal di desa karena diharapkan hasil budidaya pepaya akan memberi tambahan income untuk keperluan hariannya sambil mengawasi sesama rekan petani pepaya juga memakmurkan masjidnya.

CATATAN PENULIS:

  1. GAMBARAN PREDIKSI HASIL PANEN PEPAYA TERSEBUT DI ATAS DITULIS BERDASAR DATA HASIL DARI STUDI BANDING KITA KE SEJUMLAH PETANI PEPAYA DI BOYOLALI PADA AWAL TAHUN 2008. STUDI BANDING INI JUGA DIIKUTI OLEH SEJUMLAH CALON PETANI PEPAYA DARI DESA POGOG.
  2. GAMBARAN PREDIKSI HASIL TERSEBUT DENGAN ASUMSI JIKA SEMUA KEADAANNYA DALAM KEADAAN IDEAL DAN BUKAN MERUPAKAN KALKULASI APLIKATIF.
  3. KEADAAN IDEAL YANG DIMAKSUD ADALAH PETANINYA SUDAH BERPENGALAMAN DALAM BERCOCOK TANAM, TIDAK TERJADI SERANGAN HAMA, IKLIM YANG SESUAI, KONDISI DI LAPANGAN YANG MENDUKUNG.
  4. HASIL PANEN PEPAYA POGOG PERDANA 2009 BELUM SESEMPURNA DARI YANG KITA HARAPKAN DAN TERNYATA HASILNYA MASIH JAUH DARI YANG DIPREDIKSIKAN.
  5. HAL-HAL YANG MENJADIKAN HASIL PANEN PEPAYA TIDAK MAKSIMAL ADALAH: (a) TANAH DESA POGOG YANG TERLALU KERING DAN TANDUS KETIKA MUSIM KEMARAU. (b) KETINGGIAN LOKASI DESA POGOG YANG MENCAPAI 575 dpl – IDELANYA PEPAYA DITANAM PADA KETINGGIAN DIBAWAH 400 dpl. (c) BELUM BERPENGALAMANNYA PARA PETANI POGOG DALAM BUDI DAYA PEPAYA. (d) MASIH BELUM PERCAYA DARI KALANGAN PETANI AKAN HASIL PEPAYA KE DEPANNYA DALAM SKALA BESAR SEHINGGA MEREKA MASIH SETENGAH HATI DALAM MENGELOLA DAN BELUM MEMENUHI STANDARD SOP (STANDARD OPERATING PROCEDURE)
  6. MESKI BELUM MENGHASILKAN SECARA MAKSIMAL, PEPAYANISASI DESA POGOG TELAH MELAHIRKAN PELUANG BARU, UANG BARU, SEMANGAT INDUSTRIALISASI, PANDANGAN BARU DI KALANGAN PETANI TRADISIONAL.
  7. HASIL YANG MENGGEMBIRAKAN LAINNYA ADALAH MENJADIKAN DESA POGOG MENJADI DESA TERKENAL SEBAGAI SENTRA BARU BUDIDAYA PEPAYA.
  8. TERCIPTA SECARA ALAMIAH SEBUAH CERITA URBAN FOLKLOR UNTUK DESA ITU DI MANA MASYARAKAT KOTA KECAMATAN SEKITAR HANYA AKAN MEMBELI PEPAYA DARI POGOG KARENA MENURUT MEREKA LEBIH MANIS DARIPADA PEPAYA DARI DAERAH LAIN.  KALIMAT SEPERTI INI BISA DIDENGAR SEBAGAI ALASAN PARA PEMBELI PEPAYA DI SEKITAR PURWANTORO MISALNYA DALAM BERBELANJA BUAH PEPAYA.
  9. TELAH MELAHIRAN LEGENDA BARU BAHWA SEORANG PETANI – MBAH YONO TRONJOL – YANG TELAH MENERAPKAN STANDARD SOP BENAR-BENAR MENJADI MANUSIA BER-UANG DARI BUDIDAYA PEPAYA DAN BARU PERTAMA KALI DALAM HIDUPNYA MENDAPATKAN HASIL DARI PERTANIAN SEBANYAK RP. 6 JUTA DALAM SEKALI PANEN DAN PERTAMA KALI MEMEGANG UANG SEBANYAK ITU DALAM SATU GENGGAMAN DAN SEKARANG MEMPUNYAI REKENING BANK.
  10. TELAH MELAHIRKAN SEMANGAT UNTUK BISA MENERAPKAN SOP SECARA MAKSIMAL PADA MUSIM TANAM BERIKUTNYA KARENA PARA PETANI SUDAH PAHAM DAN PERCAYA BAHWA PEPAYA TERNYATA BISA MENDATANGKAN UANG.
  11. TELAH MELAHIRKAN PENGEPUL PEPAYA ATAU JURAGAN BARU – JURAGAN PEPAYA – DI DESA ITU YAITU KANG RIMO YANG SAYA TUNJUK SEBAGAI KETUA KELOMPOK TANI.
  12. ADALAH FAKTA BAHWA DESA POGOG MENJADI DESA PELOPOR DALAM BUDIDAYA PEPAYA SECARA BESAR-BESARAN KHUSUSNYA DI KABUPATEN WONOGIRI. BELUM PERNAH ADA SATU KAWASAN DI KABUPATEN WONOGIRI DI MANA SATU KAWASAN ITU MEMILIKI JUMLAH POHON PEPAYA DALAM JUMLAH SEBESAR YANG TERDAPAT DI DESA POGOG.
  13. ADALAH FAKTA BAHWA DESA POGOG DI SEBUT-SEBUT SEBAGAI DESA ANDALAN BARU SEBAGAI PENGHASIL BUAH PEPAYA  DI FORUM PAMERAN PEMBANGUNAN DI KABUPATEN WONOGIRI PADA BULAN AGUSTUS 2010 YANG LALU.
  14. TELAH MEMBUKAKAN CAKRAWALA SERTA PANDANGAN BARU DI KALANGAN PETANI POGOG YANG SEBELUMNYA BERSIFAT TRADISIONAL MENJADI PETANI INDUSTRI. DAN SAYA RASA, MEREKA TIDAK AKAN PERNAH LAGI BERPALING UNTUK MENJADI PETANI TRADISIONAL TETAPI AKAN TETAP MENEKUNI SEBAGAI PETANI INDUSTRI MESKI KEGAGALAN TELAH MENGHADANG USAHA MEREKA. SEBETULNYA JUSTRU INILAH “HASIL” TERBESAR DARI PROGRAM KKN INI YAKNI MERUBAH MIND SET PETANI DARI TRADISONAL MENJADI PETANI INDUSTRI SECARA MASIF DAN AKTIF. DI MANA PARA PETANI TELAH SECARA AKTIF INGIN MENGEMBANGKAN SEGALA SESUATU YANG TELAH ADA KINI MESKI TANPA ADA LAGI PENAMPINGAN YANG BERARTI. KEGAGALAN BOLEH JADI TELAH MENGHADANG MEREKA, IKLIM TERUTAMA ANOMALI CUACA YANG TERJADI PADA TAHUN 2010 TELAH MENGURANGI HASIL BUDIDAYA PEPAYA MEREKA ATAU KENDALA-KENDALA TEHNIK, MISALNYA KESALAHAN DALAM MEMILIH VARIETAS PADA MUSIM TANAM TAHUN 2009 ATAU KENDALA LAINNYA TETAPI MEREKA TIDAK AKAN BERPIKIR LAGI UNTUK KEMBALI MENJADI PETANI TRADISONAL LAGI.

About Mas Jiwo Pogog

- Wong Solo - Pencipta konsep "The Power Of One", konsep pemberdayaan masyarakat yang bertumpu pada seseorang secara tunggal, mandiri dan berdikari total. Konsep ini telah dan sedang diujicobakan sejak 2007 hingga sekarang di desa Pogog, Gn. Lawu selatan 575 m DPL kab Wonogiri bagian timur (Jateng) berbatasan dengan kab Ponorogo (Jatim). - Dalam prakteknya - secara berkala Mas Jiwo Pogog mendatangi desa yang terpaut jarak 105 km dari tempat tinggalnya itu untuk melakukan kerja kekaryaan layaknya "seorang mas-mas KKN" sedang melakukan praktek kerja lapangan. Bedanya, "KKN" ini dilakukan sendirian. Oleh Mas Jiwo Pogog hal yang demikian itu dinikmatinya sebagai suatu petualangan yang mengasyikan, petualangan program. - Berbagai ‘program KKN’ telah diciptakan antara lain Pepayanisasi (2007), Durianisasi dan Desa Wisata Buah Durian Unggul (2009), Perpustakanisasi (2010), Asemisasi (2010), Bronjong Babi Sumur Resapan (2010), Ayamisasi (2010), Program Little Kalimantan In Pogog (2010), Pralonisasi (2011), Desa Pembibitan atau Bibitisasi (2011), Sangkarisasi (2013). - Profesional bidang mebel alias tukang bikin kursi, - Kalimantanis. - Reyoger, - Pengamat durian amatir, - Penerima Danamon-Social Entrepreneur Awards 2013. - Penerima Adhikarya Pangan Nusantara - APN Award 2014 - Sedang menulis buku "Kitab Ijen" semacam buku pedoman yang baik untuk bekal bagi siapapun yang tertarik pada pemberdayaan masyarakat bahkan secara solo-karir. Juga sangat direkomendasikan untuk para mahasiswa yang akan terjun melakukan pengabdian masyarakat atau KKN. Kata /ijen/ dalam bahasa Jawa berarti sendiri.
This entry was posted in Dinamika Pogog, J'lajah Desa, Pepayanisasi... On and On Progress, Pogog: Over View and tagged , , , , , , , , , , , , , , , . Bookmark the permalink.

7 Responses to A MUST READ BLOG PAGE | Pepayanisasi: Siapapun Bisa Melakukannya

  1. Pingback: Qurban di Desa Pogog 2008: Sebuah Moment Pembelajaran Berharga | DESA POGOG antara peluang dan harapan

  2. Pius says:

    Maju terus desa pogog!

  3. Pingback: DESA POGOG antara peluang dan harapan

  4. Pingback: POGOG: Pertahankan Budaya, Jalankan Agama, bangun Ekonominya | DESA POGOG antara peluang dan harapan

  5. Pingback: 2 Mei | DESA POGOG antara peluang dan harapan

Leave a comment