28 Oktober 2012
Desa Pogog masih kering kerontang.
Tanaman sebagian sudah mulai meranggas.
Musim kemarau kali ini benar-benar panjang.
April, Mei, Juni, Juli…. sampai Oktober.
Tujuh bulan tak ada hujan.
Selalu aku perhatikan.
Dari tahun ke tahun.
Mereka warga desa itu selalu saja tidak pernah punya halangan untuk tetap bersemangat untuk menyambut harapan.
Tetap saja punya alasan untuk tetap bersyukur dan senang.
Wong ndeso..! Wong ndeso…!
Padahal untuk mencari rumput dan pakan ternak saja saat ini semakin sulit.
Semua mengering.
Air.
Beberapa petani terpaksa mematikan beberapa tanamannnya karena harus berebut air dengan manusia.
“Mas Jiwo, terpaksa aku mematikan 5 pohon durian kita. Airnya tidak cukup. Air yang longgar cuma bisa untuk kocor (menyirami) 20 pohon setelah dibagi dengan keperluan rumah tangga” kata seorang sahabat tani desa Pogog.
Aku tahu, mereka petani desa Pogog telah berjuang untuk menjadi yang terbaik dalam memenej air.
Aku tahu, mereka adalah para ahli mengendalikan nafsu diri yang dikarenakan air.
Aku tahu, mereka bahkan rela untuk (maaf) tidak berhubungan suami istri bila tidak ada air untuk mandi junub. Mereka adalah orang yang pandai ber-rela hati dan ber-rela diri untuk menjadikan air itu ‘hanya’ untuk berwudhu saja.
Tujuh bulan kemarau.
Biasanya tidak begitu.
Paling enam sudah dapat kiriman hujan.
“Mbetal”-pun belum dapat.
Masih kering saat ini.
Tetapi sahabat Pogog selalu saja lebih kuat dan unggul dari yang aku kira.
Toh yang mengalami semacam ini bukan hanya kita wong Pogog tetapi semua-mua umat..!
Semoga Gusti Allah – Pangeran Kang Moho Asih kerso enggal paring siram-siram tumrab bleduk lan watu padhas ing dhusun Pogog amrih bleduk mboten mubal dan katon teles selo padhasipun. Amin…!
Rahayu ingkang sami pinanggih…! Nuwun..!
_/\_
Mas Jiwo Pogog
Bagaimana pertahanan berikutnya? Baca di sini: https://masjiwopogog.wordpress.com/2010/09/01/mati-mandiri-ala-pogog/